Cerita Usang Suara Jalanan
*Tulisan ini pernah saya posting di facebook saya (kolom catatan) tanggal 22 Juli 2009 pukul 08.32
Hampir setiap hari saya berjualan suara di dalam bus- bus kota. Melangkahkan kaki di sepanjang trotoar yang kadang kering dan becek sambil menunggu datangnya bus kota. Melamun murung di sudut jalan atau halte bus sambil berkhayal tentang harapan- harapan indah di masa depan. Akan adanya solusi yang berarti bagi kehidupan kami. Kehidupan yang termarjinalkan oleh banyak situasi dan kondisi. Tetapi sesekali waspada akan bahaya yang datang dan mengancam. Semuanya memang terasa nikmat dijalani. Dan setiap orang punya cerita- cerita yang berbeda tentunya.
Seperti biasa, saya sudah duduk- duduk santai di dalam bus sambil menunggu tempat duduk penumpang penuh. Maklumlah, siapa yang mau menyanyi kalau penumpangnya sedikit? Tapi terkadang saya tak terlalu memikirkan kalau penumpangnya sedikit. Hajar bleh...Apalagi kalau ada yang lucu- lucu. Anda tahu maksud saya kan tentunya? Dengan langkah lambat saya mulai bergerak ke tengah bus untuk memulai berjualan suara. Ungkapan salam dan basa- basi yang diberi sedikit distorsi menjadi pembuka bisnis saya. Ya, berjualan suara sama saja dengan berbisnis. Kita harus membuat barang dagangan kita laku sebanyak- banyaknya. Saya pun ingin membuat semua penumpang terhanyut dan menikmati suara kumal saya. Saya pun mulai mendendangkan lagu pertama yang langsung saya medley dengan lagu kedua atau ketiga. Untuk jumlah lagu yang saya bawakan, itu semua tergantung jarak dan mood saya. Sesekali juga awas terhadap bahaya yang merongrong di depan, samping dan belakang kita. Bahaya klasik seperti aparat, petugas dan saudara copet. Gak lucu kan pas maen kita dikejar- kejar and ditangkepin...
Saat saya berjualan suara di bus- bus kota, saya ingin benar- benar menyampaikan pesan- pesan, aspirasi dan harapan atau mungkin sekedar balada daripada kehidupan kami yang termarjinalkan. Terkadang saya terbawa suasana dari lagu- lagu yang saya bawakan. Pelupuk mata saya pun berkaca- kaca. Di dalam hati saya bergumam, “Tuhan, dimanakah keadilan? Dimanakah revolusi?” Kenapa saya tiba- tiba memikirkan keadilan? Sempat- sempatnya saya memikirkan tentang revolusi. Itu semua memang telah berjalan dan mengalir dalam segenap hari- hari dimana saya berjualan suara. Perasaan tertolak, tersisihkan. Perlakuan aparat dan petugas yang seperti preman. Perlakuan penumpang yang seenaknya. Anggapan miring akan kehidupan kami, yang selalu menjadi sebuah tugas yang harus dipertanggung jawabkan supaya tak ada lagi stigma yang menyudutkan kami yang termarjinalkan entah karena disengaja atau tidak ini. Wah, malah jadi curhat colongan niey...
![]() |
| Sesak... |
Tapi itulah kenyataan yang terjadi padaku. Pada mereka yang memang benar- benar dipandang sebelah mata. Kami dikejar- kejar dan ditangkapi seperti menangkap binatang buruan oleh aparat dan petugas. Boro- boro kalau diberi pengarahan di Kedoya atau Cipayung (tempat yang tak jauh berbeda seperti panti sosial). Tidak ada pembekalan untuk kehidupan selanjutnya bagi kami setelah terkurung untuk beberapa waktu di anatara dua tempat itu. Tak ada ketrampilan- ketrampilan berarti yang bisa dibekalkan kepada kami dari saudara- saudara aparat dan petugas yang begitu diandalkan itu. Semuanya terasa palsu dan mereka tetap saja memperlakukan kami seperti yang sudah- sudah. No more solution... Seharusnya mereka menjaga dan manangkap pejabat- pejabat yang katanya wakil rakyat itu, yang saat melakukan sidang rakyat malahan tidur pulas!
Kami juga diacuhkan saat kami menyodorkan kolekan (tempat menaruh uang). Mereka pura- pura tidur. Mereka berpesta dalam percakapan yang dibalut feedback kelas berat saat kami menyanyikan lagu- lagu urban. Yang membuat concert kami terasa diabaikan. Saya merefleksikannya sebagai sebuah kematirasaan yang sangat keterlaluan. Tidak ada bentuk penghargaan. Rasa menghargai. Apa susahnya untuk memberikan senyum? Apa sulitnya untuk mengatupkan tangan tanda tak mau memberi? Itu kan lebih manusiawi daripada dikambing congek-kan! Saya tidak memeras. Saya bukan koruptor. Dan saya tidak mau membebani penumpang. Saya hanya ingin dihargai. Senyuman adalah bentuk penghargaan kelas tinggi selain uang.
Setelah puas bernyanyi, saya mulai mengocehkan salam penutup dan sedikit petuah- petuah dari orang tua seperti semoga kita makin bisa belajar menghargai orang lain. Semoga kita bisa membuang sampah pada tempatnya. Dan tentunya semoga kita semua menjadi lebih baik. Saya pun mulai melipir sedikit ke depan untuk memulai mengumpulkan rezeki yang sekiranya memang rezeki saya. Ya, seperti yang sudah saya bilang... Ada yang baik hati, murah senyum dan ada juga yang tak tahu apakah dia manusia atau bukan. Maaf, bukannya ingin menggurui atau sebagainya tapi saya ingin kalian pun tahu tentang kehidupan kami. Kami individu yang berbeda- beda. Dan anda pun harus mau belajar untuk bisa memilah dan memilih yang terbaik dari kami tentunya. Hargailah kami kalau memang kami harus dan layak untuk dihargai. Kalau tidak, ya tidak apa- apa. Yang penting masih ada senyum yang tersisa untuk kami. Senyuman dan jiwa hangat yang terpancar dari pada mereka yang tahu sebenarnya akan arti hidup yang hakiki: berguna bagi orang lain tentunya.
Hari mulai gelap. Saya bersyukur untuk segenap peristiwa yang boleh terjadi dalam kurun waktu sehari. Perasaan senang, bahagia, sedih, marah dan sebagainya akan selalu terpatri dalam nada dan ukulele tiga senar saya yang mulai kedinginan karena tak ada softcase-nya. Semoga tulisan usang ini boleh jadi bahan permenungan kita untuk menjadi yang hakiki dalam hidup ini: mengerti, mengerti dan berguna bagi orang lain!
Jakarta, 5 Februari 2009
**foto diambil oleh Daniela Jines/ Juan Tomates sewaktu saya mengamen dalam bus kota menuju daerah Cawang. Bus ini saya naiki dari Pancoran. Saya lupa nomornya tapi ini Mayasari Bakti.

No comments