Menggugat Konsep Tertindas dan Penindas
Apakah menjadi tertindas merupakan suatu takdir? Apakah mungkin menjadi tertindas dan memilih tidak untuk menindas merupakan suatu pilihan? Saya tidak mau menjawab namun saya ingin supaya kita memikirkan, merenungkan dan menjawabnya dalam hati.
Ditindas dan akhirnya merasa tertindas merupakan satu kesatuan kuat yang membentuk karakter “si tertindas” itu sendiri. Kaum tertindas menurut saya bukan hanya berlaku untuk orang- orang susah, melarat, kecil, kaum buruh, petani, kaum termarjinalkan dan lain- lain. Tertindas yang saya maksud di sini lebih kepada ketidakberdayaan akan suatu situasi dan kondisi yang begitu mendominasi sehingga sama sekali tidak bisa melakukan apa- apa dan ini cenderung sangat merugikan. Dan tentunya ini mendorong seseorang untuk melakukan perlawanan kepada kaum penindas.
Nah, pertanyaan adalah: apakah si tertindas berani melawan? Apakah si tertindas punya strategi? Apakah si tertindas punya kekuatan? Menurut saya, yang mungkin adalah bahwa saat ini si tertindas yang memiliki musuh yang sama belum bisa bersatu padu. Satu sama lain di antara kaum tertindas masih punya idealis masing- masing. Dan parahnya (maaf) adalah mudah disusupi dan tidak menjadi kritis lagi. Loh kok bisa? Ya bisa, apa yang tidak bisa di dalam politik? Kenapa politik? Karena politik adalah wadah yang bagus untuk memungkinkan sesuatu hal. Karena dalam politik sendiri melahirkan kemungkinan yang mana kadang mengada- ada, mengawang- awang dan parahnya tidak obyektif. Itulah politik. Dan sedihnya adalah si tertindas malah dijadikan penumpang oleh supir yang berlabel politik ini.
Mengatur ulang strategi dalam perlawanan adalah sangat penting. Si tertindas harus bisa pilih- pilih dan lebih memikirkan untuk apa dia melawan dan apakah dia punya sekutu serta yang paling penting adalah efeknya untuk kepentingan umum. Kepentingan umum dan bersama adalah bagian kuat dalam semangat perlawanan. Kalau hanya beralibi untuk kepentingan bersama juga mesti ditimbang- timbang lagi. Lebih baik melawan sendirian namun visi dan misi tercapai dari pada jadi anjing pesakitan yang terus menerus diberi makan. Mengetahui mana yang pro dan kontra dengan visi misi kita adalah sangat penting. Ya, sangat penting! Si tertindas harus menemukan keidealisannya dalam melawan dan kemana dia berpihak!
Keberhasilan si tertindas adalah ketika kemurnian dalam perlawanan berbalut dengan konsistensi untuk mendapatkan keuntungan bagi semuanya. Keberhasilannya adalah ketika ia tidak mudah disusupi dan ketika ia memilih untuk tetap kontra. Keberhasilannya adalah ketika mengetahui siapa lawan dan kawan. Keberhasilannya adalah ketika menyadari apa yang harus dilakukan saat menjadi si tertindas!
Lingkup persoalan ini bisa direfleksikan ke segala hal. Namun yang mesti disadari adalah bahwa politiklah yang kadang membuat seseorang tidak berdaya. Karena kesempatan untuk memungkinkan sesuatu itulah yang kadang mengikiskan kekritisan si tertindas. Bukan berarti politik itu tidak penting ya. Politik di sini mencapai titik yang hebat ketika si tertindas menjadi cerdas dan hebat. Ia senantiasa memurnikan motivasinya untuk apa ia melawan. Bahkan ia tahu segala efek, manfaat serta solusi yang cemerlang di saat situasi malah makin menjadi pelik.
Syukur- syukur kita tidak jadi penindas. Karena kadang si tertindas malah jadi penindas itu sendiri lho karena prinsip- prinsip yang kacangan, melempem dan tidak konsisten. Ia takut dengan mental keroyokan. Ia takut salah. Padahal salah itu sangat manusiawi. Namun yang penting adalah berani mengaku salah dan mau ikut bersama- sama mengatur dan membangun strategi untuk melawan si penindas!
Nah, sekarang mau menjadi yang mana? Silahkan dipilih. Silahkan memurnikan nurani. Mari merenung lebih dalam. Mari menikmati hidup. Oia, saya baru ingat kepada siapa tulisan ini saya tujukan ;)
Jakarta, 25 November 2015
Noel Setiadi
Ditindas dan akhirnya merasa tertindas merupakan satu kesatuan kuat yang membentuk karakter “si tertindas” itu sendiri. Kaum tertindas menurut saya bukan hanya berlaku untuk orang- orang susah, melarat, kecil, kaum buruh, petani, kaum termarjinalkan dan lain- lain. Tertindas yang saya maksud di sini lebih kepada ketidakberdayaan akan suatu situasi dan kondisi yang begitu mendominasi sehingga sama sekali tidak bisa melakukan apa- apa dan ini cenderung sangat merugikan. Dan tentunya ini mendorong seseorang untuk melakukan perlawanan kepada kaum penindas.
Nah, pertanyaan adalah: apakah si tertindas berani melawan? Apakah si tertindas punya strategi? Apakah si tertindas punya kekuatan? Menurut saya, yang mungkin adalah bahwa saat ini si tertindas yang memiliki musuh yang sama belum bisa bersatu padu. Satu sama lain di antara kaum tertindas masih punya idealis masing- masing. Dan parahnya (maaf) adalah mudah disusupi dan tidak menjadi kritis lagi. Loh kok bisa? Ya bisa, apa yang tidak bisa di dalam politik? Kenapa politik? Karena politik adalah wadah yang bagus untuk memungkinkan sesuatu hal. Karena dalam politik sendiri melahirkan kemungkinan yang mana kadang mengada- ada, mengawang- awang dan parahnya tidak obyektif. Itulah politik. Dan sedihnya adalah si tertindas malah dijadikan penumpang oleh supir yang berlabel politik ini.

Keberhasilan si tertindas adalah ketika kemurnian dalam perlawanan berbalut dengan konsistensi untuk mendapatkan keuntungan bagi semuanya. Keberhasilannya adalah ketika ia tidak mudah disusupi dan ketika ia memilih untuk tetap kontra. Keberhasilannya adalah ketika mengetahui siapa lawan dan kawan. Keberhasilannya adalah ketika menyadari apa yang harus dilakukan saat menjadi si tertindas!
Lingkup persoalan ini bisa direfleksikan ke segala hal. Namun yang mesti disadari adalah bahwa politiklah yang kadang membuat seseorang tidak berdaya. Karena kesempatan untuk memungkinkan sesuatu itulah yang kadang mengikiskan kekritisan si tertindas. Bukan berarti politik itu tidak penting ya. Politik di sini mencapai titik yang hebat ketika si tertindas menjadi cerdas dan hebat. Ia senantiasa memurnikan motivasinya untuk apa ia melawan. Bahkan ia tahu segala efek, manfaat serta solusi yang cemerlang di saat situasi malah makin menjadi pelik.
Syukur- syukur kita tidak jadi penindas. Karena kadang si tertindas malah jadi penindas itu sendiri lho karena prinsip- prinsip yang kacangan, melempem dan tidak konsisten. Ia takut dengan mental keroyokan. Ia takut salah. Padahal salah itu sangat manusiawi. Namun yang penting adalah berani mengaku salah dan mau ikut bersama- sama mengatur dan membangun strategi untuk melawan si penindas!
Nah, sekarang mau menjadi yang mana? Silahkan dipilih. Silahkan memurnikan nurani. Mari merenung lebih dalam. Mari menikmati hidup. Oia, saya baru ingat kepada siapa tulisan ini saya tujukan ;)
Jakarta, 25 November 2015
Noel Setiadi
No comments