Belajar dari Film “American History X”: Bagaimana peran guru dalam mendidik dan kemampuan si anak didik dalam menyerap serta mengaplikasikan yang diajarkan - cuma tulisan liar biasa

Belajar dari Film “American History X”: Bagaimana peran guru dalam mendidik dan kemampuan si anak didik dalam menyerap serta mengaplikasikan yang diajarkan


Saya sudah beberapa kali nonton film ini, dan saya merasa bahwa setiap kali saya menonton lagi, pasti akan muncul pandangan dan pemikiran baru dari film ini. Di masa- masa awal menonton, pandangan saya soal film ini hanya terbatas pada masalah konflik kulit hitam dan kulit putih dan kepesimisan saya bahwa masalah tersebut akan selamanya begitu. Namun saat selesai menonton lagi pada beberapa saat yang lalu, sudut pandang dan pemikiran saya soal film ini jadi berubah dan lebih luas serta menjadi mirip- mirip dengan permasalahan saat ini yaitu radikalisme ngawur yang sangat mengkhawatirkan sepak terjangnya, khususnya di Indonesia.

Poin penting yang akhirnya saya dapatkan lagi dari film ini adalah soal pengajaran/ pendidikan dan bagaimana sharing ilmu itu dilakukan, dan dalam hal ini peran guru atau yang dikultuskan sangatlah penting. Saya pikir segenap peristiwa yang terjadi dalam film ini bisa disebut sebagai “guru” juga secara tidak langsung, walaupun memang ada yang berperan sebagai guru dan mentor sungguhan. Soal pengajaran/ pendidikan oleh para guru inilah yang akan saya coba bahas agar kelak kita dapat memahami apa yang kita pelajari dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan nyata dengan lebih bijak, seimbang dan penuh dengan kesadaran . Oia, maaf sebelumya karena saya sedang tidak me-review film ini ya ;)



Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya di “Memaknai Hari Pendidikan Nasional- Sebuah Refleksi”, tentang makna pendidikan yang garis besarnya adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang dan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian, maka konteks “pengajaran/ pendidikan” dalam film ini memang sangat luar biasa efek dan peranannya bagi si anak didik. Kita akan melihat bagaimana “guru- guru” ini menurunkan ilmunya dan bagaimana proses pengajaran/ pendidikan itu mencapai puncaknya dengan pengaplikasian dari apa yang dipelajari dan dipropagandakan. Berikut ini adalah mereka yang saya anggap sebagai “guru” dalam film ini:

1. Dennis Vinyard merupakan ayah dari Derek dan Danny Vinyard yang pernah memberikan reaksi ketidaksukaan pada tugas sekolah yang sedang dikerjakan oleh Derek karena diberikan oleh gurunya yang seorang kulit hitam dan pada pendapat Derek bahwa gurunya itu berbeda dengan orang kulit hitam lainnya dari segi pemikiran dan pandangan. Hal tersebut membuat Dennis memberikan petuah- petuah dan pandangan soal dominasi kulit hitam dan sepak terjang mereka kepada Derek dan hal ini sebenarnya secara tidak langsung juga didengarkan oleh Danny saudaranya. Akibatnya, Derek mulai berpikir ulang akan petuah- petuah mendiang ayahnya itu dan hal itu juga yang kelak akan menjadi penghantarnya kepada konsep pemikiran kepada guru/ mentor lain yang mirip- mirip dengan yang disampaikan oleh ayahnya yaitu Cameron Alexander, seorang pria paruh baya yang juga seorang militan anti kulit berwarna dan pemuja nazi akut.

2. Cameron Alexander, panutan paling pas bagi Vinyard bersaudara dan geng sayap kanan rasis mereka. Segenap doktrin- doktrin neo-nazi diajarkan oleh Cameron Alexander kepada anak- anak muda Venice, Los Angeles. Ajarannya membangkitkan semangat dan rasa percaya diri anak- anak muda ini akan kebanggaan dan identitas diri mereka sebagai golongan kulit putih yang paling berhak atas tanah dimana mereka tinggal. Dan Cameron habis- habisan mendoktrin Derek dan juga mengagitasinya untuk berani menggerakan anak- anak muda di lingkungan mereka untuk berani menuntut hak mereka dan menunjukkan keberadaan mereka dengan teror- teror yang dilakukan kepada orang- orang kulit berwarna. Kediamannya sendiri kerap dijadikan sebagai tempat pesta/ gig party yang diiringi dengan alunan musik dari band- band nazi punk yang lirik lagunya menyuarakan soal dominasi kulit putih dan ketidaksukaan mereka pada kulit berwarna.

3. Fakta bahwa ayah Vinyard bersaudara ini dibunuh oleh seorang kulit hitam penjual obat- obat terlarang pada saat memadamkan api yang membakar sebuah sarang bandar obat- obatan terlarang. Ya, semakin menggilalah respon Vinyard bersaudara kepada kulit berwarna khususnya kulit hitam dan makin besarlah keinginannya untuk menerapkan asas tunggal yaitu supremasi kulit putih di lingkungan tempat mereka tinggal.

4. Dr. Bob Sweeney adalah guru SMA Derek Vinyard yang sempat dikagumi oleh Derek karena dia berbeda dengan orang kulit hitam yang lain. Derek sempat “meninggalkannya” namun akhirnya dia juga yang memonitor perkembangan Derek saat di dalam penjara dikarenakan pembunuhan kepada orang kulit hitam yang mencoba mencuri mobilnya pada suatu malam di rumahnya. Dr. Bob tidak ingin hal seperti ini terulang kembali, maka ia pun berupaya keras untuk mendidik dan mengontrol adik dari Derek yaitu Danny Vinyard yang juga bersekolah di tempat yang sama seperti Derek. Dr. Bob Sweeney berupaya keras agar sepak terjang daripada sentimen- sentimen kulit putih pada kulit hitam begitupun sebaliknya dapat dihentikan dengan kata lain tidak terjadi. Terlebih saat ia menonton rekaman kekecewaan Derek Vinyard pada hari ayahnya mati. Derek mengatakan bahwa ayahnya mati salah satunya dikarenakan populasi kulit berwarna di Amerika Serikat sangat meningkat dan mereka menguasai dan bertingkah layaknya boss di negara orang sehingga bertingkah semau- maunya. Saat itulah Dr. Bob Sweeney benar- benar merasa bahwa dia perlu turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dan sangat bersyukur karena akhirnya Derek Vinyard dapat berubah dengan tidak mengikuti paham neo- nazi itu lagi. Setelah keluar dari penjara Derek berupaya keras juga mendidik adiknya si Danny Vinyard agar bisa keluar dari lingkaran neo- nazi dan Danny akhirnya pun bisa berubah walaupun akhirnya ia juga mati di tangan seorang bocah kulit hitam yang pernah berselisih paham dengan dia di toilet sekolah dan sangat menaruh dendam kepada Danny Vinyard. Ya, itulah harga yang harus dibayar karena namanya perubahan ke arah yang lebih membutuhkan proses yang tidak instan tohh.

Kurang lebih ada 4 (empat) yang saya anggap guru/ mentor yang berperan sangat penting dari film ini dalam membentuk karakter si anak didik. Kalau anda beranggapan bahwa sebenarnya ada lebih dari empat guru, itu sah- sah saja. Namun lebih dari itu, mari kita cermati dan lihatlah betapa yang saya anggap sebagai guru- guru ini amat sangat berperan dalam “mendidik” entah langsung atau tidak langsung. Dan saat si anak didik ini terhanyut oleh semua ajaran dan didikan tersebut serta mengaplikasikannya dengan tidak benar, maka ini dikarenakan tidak ada filter dari diri sendiri. Filter dari dalam diri sendiri adalah bentuk kesadaran dari pada setiap insan dalam memilah yang baik dan tidak bagi dirinya dan manfaatnya bagi diri dan lingkungannya serta dapat dipertanggung jawabkan. Kesadaran tersebut ada dalam diri setiap manusia dan itu sebenarnya adalah bagian dari praktek hidup berkesadarannya sendiri. Hanya ia yang tahu filter dari dalam dirinya sendiri.

Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah kondisi dari film tersebut bisa dikatakan sama dengan di Indonesia? Pertanyaan ini sangat relevan rasa- rasanya dengan kondisi saat ini di Indonesia. Dan saya pikir bahwa permasalahan radikalisme yang ngawur (sekali lagi) berada pada posisi teratas. Mari kita tengok bagaimana begitu maraknya radikalisme ngawur berbalut agama yang sangat- sangat mengerikan perkembangannya di Indonesia saat ini. Ada juga gerakan mengkafir- kafirkan, yang juga saya pikir masuk ke dalam radikalisme ngawur di atas. Pelaku radikalisme ngawur di Indonesia saat ini melakukan segala upaya untuk menyebarkan dan mencuci otak si anak didik agar pemahaman soal agamanya dilencengkan untuk tujuan- tujuan tertentu. Ahh, teramat banyak rasanya bentuk- bentuk radikalisme ngawur di Indonesia saat ini. Bahkan di era seperti ini saja, isu- isu rasis pun masih dilemparkan ke publik. Ya, isu- isu rasis juga produkan dari radikalisme ngawur tersebut kok

Lalu yang salah siapa? Padahal neo- nazi di Indonesia (mungkin) ada namun sejauh ini belum terdengar dan kebanyakan terjadi di luar Indonesia kok. Namun biar bagaimanapun, neo- nazi menurut saya adalah bagian dari radikalisme ngawur juga. Dan amat sangat berbahaya (amit- amit) apabila berkembang di Indonesia. Jadi menurut saya, yang salah banget itu adalah guru atau si pengajar yang mengajarkan radikalisme ngawur dan turunannya. Mau tidak mau, kita harus selektif memilih para guru dan bijaksana dalam mempelajari banyak hal dengan penerapan filter dari dalam diri. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah salah pengaplikasian akibat salah tafsir pengajaran dan karena juga berguru pada guru yang salah. 

Paham neo- nazi dalam film American History X dan praktek radikalisme ngawur berbalut ajaran agama yang terjadi saat ini di Indonesia bagi saya adalah produk fasis. Dan mengutip yang dikatakan Ucok Homicide yaitu “fasis yang baik adalah fasis yang mati”, maka semoga gerakan radikalisme ngawur di Indonesia segera mati dan tak berbekas! Semoga!


Jakarta, 4 Juli 2017


H.Y a.k.a Noel Setiadi


*pics taken from google

No comments

Powered by Blogger.